Tombol

Beranda       Profil       Download

Selasa, 25 Februari 2014

Fakta dibalik pembangunan waduk jati gede-Sumedang

Dengan struktur tanah yang cenderung rapuh dan luruh, lokasi bendungan Jatigede tidaklah cukup tepat dan tidak menjamin keselamatan dan keberlanjutan pembangunan. lagipula kawasan Priangan Timur pun semakin sering dilanda gempa, tanah retak, longsor. Sebagai bagian Ring of Fire yang semakin aktif, lempeng Euroasia-Australia yang rentan sudah bertahun2 belakangan memicu banyak gempa dan tsunami.
Waduk yang dirancang terbesar kedua nasional ini berada di lokasi rawan gempa. Hasil penelitian Ir. Sobirin dari DPKLTS menunjukkan titik bendungan terletak di zona pusat gempa (episentrum) Purwakarta-Subang-Majalengka-Kuningan-Bumiayu, tepatnya di wilayah sesar pada koordinat 108o5’45”BT & 6o51’30”LS. Gempa bumi sudah digenapi pada 1912 dan 1990. Masalahnya, pembangunan bendungan besar di dekat episentrum justru akan memicu gempa bumi. Hal ini sudah disepakati di China ketika gempa Sichuan terjadi pada 2008, penelitian dan perdebatan ilmiah selanjutnya membuktikan gempa yang menewaskan minimal 69.000 orang tersebut dipicu oleh bendungan Zipingpu dekat episentrum di Sungai Min, anak Sungai Yangtze.
Namun kemajuan ekonomi global China tampaknya membutakan mata pemerintah Idnoensia terhadap resiko bencana ekologis tersebut hingga Jusuf Kalla pada 2007 berkunjung ke Bendungan Tiga Ngarai, menorehkan tandatangannya “Congratulations!” pada diorama BTN dan membuat siaran pers ‘bergurulah sampai ke negeri China’.
Sebaliknya, pemerintah INDonesia dan China cukup ambisius merancang untuk membangun waduk setinggi 200m yang memuat 1 juta m3 air untuk irigasi 90.000m daerah hilir Ciayumajakuning dan listrik 110MW untuk interkoneksi Jawa-Bali.Alih2 mendapat irigasi yang teratur, seandainya waduk jebol, masy Ciayumajakuning akan terbanjiri limpahan air sebanyak 8 kali jebolan Situ Gintung. Sementara selama periode bencana mulai dari gempa Tasikmalaya September 2009 sampai Situ Gintung, Gunung Merapi dan berbagai bencana longsor gempa kecil2an, belum terbukti komitmen dan kesigapan pemerintah dalam mengupayakan pemulihan kondisi korban rakyat dan rumah terdampak. Sebagai Ring of Fire yang semakin aktif saat ini, fakta geologis wilayah waduk Jatigede perlu disikapi dengan serius, dan pemerintah tidak sepantasnya menafikan potensi bencana ekologis, social dan ekonomi yang mengerikan. Bahkan pihak Sinohydro Corp, konsorsium perbankan dan pemerintah China yang memiliki andil besar di dalam proyek ini juga tidak dapat memberi jaminan bahwa bencana multidimensi skala besar tidak akan terjadi.
Sekalipun terkenal sebagai bendungan terbesar sedunia, BTN juga bereputasi sebagai ‘the most disastrous dam’ (bendungan yang paling membawa bencana). Semakin ke sini, kontroversi internasional atas BTN semakin menuai kritik, baik di China sendiri maupun di dunia Barat, karena bencana social dan erosi DAS Yangtze meningkat dan menyebabkan pertambahan jutaan orang harus pindah darinya. Namun pemerintahan SBY rezim neoliberal tampaknya sudah bertekad mempertaruhkan keberlangsungan tanah Jabar demi pertumbuhan ekonomi dan investasi dalam meningkatkan peran serta Indonesia dalam globalisasi.
Masalah klasik kegagalan bendungan di Inodnesia adalah rusaknya DAS yang menyebabkan erosi dan sedimentasi yang menyebabkan pendangkalan bendungan sehingga tidak akan terjadi pengairan yang lancar sepanjang musim ataupun tenaga potensial listrik yang besar.  Kerusakan DAS Cimanuk versiDPKLTS 45% dan menurut hitungan adat Sunda 75%, ditambah potensi erosi Cimanuk yang tinggi. Jatigede tidak akan sukses sebagai bendungan besar, namun sebagai bendungan kedua terbesar nasional akan mengikuti jejak rendahnya kinerja bendungan terbesar nasional, Waduk Jatiluhur dengan prestasi bray-pet dalam pelayanan energi listriknya.
Di era pemanasan global, justru 1200 ha lahan hutan perawan (diperoleh dalam sengketa dengan dephut), pun harus dikorbankan. Juga proses konstruksi saat ini sudah menambah getaran dan kerapuhan tanah Priangan Timur, dan sudah bersiap-siap mengusir setidaknya 12.000 keluarga dari 5 kecamatan sejumlah kurang lebih 50.000 manusia ke tempat yang hingga saat ini tidak ada yang tahu, termasuk pemeritnah dan mereka sendiri, yang berarti proses pemiskinan. Ironis, karena lahan yang mereka tinggali saat ini, adalah lahan subur yang berpotensi untuk menjadi lumbung beras terbaik se-Jabar. Tanpa dilirik pemerintah pun, warga mengaku tidak pernah gagal panen, dengan kualitas bulir padi yang lebih baik dari produksi tanah Karawang. Seandainya saja pemerintah mau berhenti sejenak untuk merenungkan potensi lahan yang akan ditenggelamkan untuk waduk spekulatif ini sebagai lumbung pangan Jabar.
Di atas semuanya, sesungguhnya satu bencana sedang berlangsung sebagai dampak proyek tersebut, yaitu hutang triliunan rupiah yang dibuat antara pemerintah Indonesia dan pemerintah China, dimulai dengan US$239,5 juta dan bertambah terus hingga kini konsorsium perbankan China mendirikan kantor perwakilan di wilayah proyek. Buruknya prestasi bendungan dalam sejarah Indonesia dan potensi gagalnya operasi Jatigede akan menimpakan beban pembayaran hutang, bunga dan dendanya ke pundak masyarakat Jabar dan Indonesia sebagai pembayar pajak.Di era demokrasi ini, pemerintah harus mempertanggungjawabkan semua potensi keberhasilan, resiko kegagalan dan dampak pembangunan waduk Jatigede. Sesuai Keputusan Kepala BAPEDAL no. 08/2000, setiap pemrakarsa proyek harus berkonsultasi kepada masyarakat bahkan sebelum menyusun ANDAL (Analisa Dampak Lingkungan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar